Penulis : Imam Sanusi, M.Pd.
Wacana percepatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 nampaknya akan menjadi kenyataan. Pilkada yang sesuai PKPU nomor 3 tahun 2022 yang akan digelar serentak pada tanggal 27 Nopember 2024, direncanakan dimajukan ke bulan September 2024. Dengan alasan menghindari kekosangan kekuasaan, Kementerian Dalam Negeri sudah menyiapkan draf Peraruran Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagai dasar percepatan pelaksanaan Pilkada 2024.
PKPU nomor 3 tahun 2022 sebagai turunan dari Undang-undamg nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, merupakan dasar pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2024. Wacana percepatan Pilkada serentak dengan alasan menghindari kekosongan Pejabat 33 gubernur, 415 Bupati dan 93 Wali Kota patut dipertanyakan. Sejatinya pada saat Undang-undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 ditetapkan, dampak kekosongan jabatan Kepala Daerah akibat penundaan Pilkada telah terpetakan dan diketahui oleh Pemerintah dan DPR.
Dengan kekosongan 33 gubernur, 415 Bupati dan 93 Wali Kota, Pemerintah seharusnya sudah membuat simulasi bagaimana mengatasinya. Bukan setelah menjelang pelaksanaan tahapan Pilkada 2024 baru disadari bahwa penundaan Pilkada punya dampak yang cukup serius bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tidak heran jika wacana percepatan (perubahan) Pilkada dari 27 Nopember 2024 ke September 2024 menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan ini hanya modus untuk memuluskan keinginan pihak tertentu.
Kecurigaan publik tidaklah berlebihan, mengingat pada kontestasi Pilkada 2024 akan ada dua putra penguasa akan ikut kontestasi. Kaesang akan berkontestasi di Solo sebagai Wali Kota atau bahkan mungkin di Jawa Tengah sebagai Gubernur, dan Boby akan berkontestasi di Sumatera Utara sebagai Gubernur. Lalu apa untungnya jika Pilkada dilaksanakan bulan September 2024 ?. Dalam jadwal Pilpres 2024, tanggal 20 Oktober 2024 merupakan akhir kekuasaan Presiden Jokowi, sehingga peluang menang putra mahkota maksimal 50 : 50, tetapi jika Pilkada dilaksanakan pada bulan September 2024 hasil Pilkada mudah dikalkulasi.
Kalau benar Pilkada dipercepat dari 27 Nopmber 2024 ke bulan September 2024 ibarat pertandingan Sepak Bola, pertandingan akan berjalan tidak seimbang. Wasit, Asisten Wasit, Pengawas Pertandingan, Petugas Keamanan dan Penonton semuanya dimungkinkan akan berpihak pada salah satu kesebelasan. Jika ini terjadi sekuat apapun kesebelasan dan sebaik apapun strategi yang disiapkan pelatih, sebelum bertanding bisa dipastikan kesebelasan sebelah akan kalah.
Sebenarnya tidak ada keadaan memakasa Pilkada 2024 untuk dilaksanakan percepatan dan sampai hari ini tidak ada keadaan memaksa untuk keluarnya Perpu. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU nomor 15/2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Repotnyan dasar pertimbangan ihwal yang memaksa ini ditetapkan secara subjektif oleh Presiden (Yuli Harsono).
Kalau alasan kekosongan kekuasaan pada Januari 2025 dianggap keadaan memaksa, berarti para Penjabat Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang sekarang sedang menjabat disamakan dengan tidak ada pejabat Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Padahal para Penjabat Gubernur, Bupati dan Wali Kota di 33 Provinsi, 415 Kabupaten dan 93 Kota ada yang menjabat sejak Oktober 2022 dengan kewenangan yang sama dengan Gubernur, Bupati dan Wali hasil Pilkada. Jika ini analoginya, repot juga mamahami tata kelola pemerintahan di negeri ini.
Anihnya sejak wacana percepatan Pilkada 2024 dirilis oleh Mendagri Tito Karnavian, belum ada tanggapan dari DPR khususnya dari Komisi yang membidangi Bidang Hukum dan Pemerintahan. Adakah DPR masih menunggu Perpu dikeluarkan untuk menilai kekosongan Gubernur, Bupati dan Wali Kota di 33 Provinsi, 415 Kabupaten dan 93 Kota menjadi kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi ?. Kita tunggu drama politik berikutnya !.