*) Imam Sanusi, M.Pd.
Bagai perang bintang, setelah deklarasi Muhaimin Iskandar sebagai Bacawapres Anis Baswedan, elit Pengerus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan elit Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mulai saling serang. Ketua PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) membantah Ulama mendukung Muhaimin Iskandar sebagai Bacawapres Anis Baswedan. Gus Yahya menyatakan “…bahwa klaim tersebut tidak benar”. Selanjutnya Wakil Sekjen PBNU Sulaiman Tanjung menegaskan PBNU tidak pernah memberikan mandat atau aspirasi khusus kepada PKB, bahkan Sulaeman Tanjung menyatakan PKB hanya dipilih kurang dari 10 % warga NU atau Naghdliyin.
Tidak kalah keras Sekjen PBNU Syaifullah Yusuf menyatakan “setelah deklarasi berlangsung … sampai saat ini para Kiai banyak yang nlongso (Bahasa Jawa) atau prihatin dengan deklarasi yang dianggap cukup mendadak”. Bahkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan “…harus dicek betul. Pernah enggak calon pemimpin kita, calon presiden kita ini, memecah-belah umat. Kalau pernah, jangan dipilih”. Berikutnya Yaqut Cholil Qoumas menyatakan “…bid’ah memilih AMIN..”. Lebih lanjut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang juga sebagai Ketua GP Ansor menyatakan “… track record-nya bagus syukur, mukanya ganteng syukur, bicaranya manis, itu dipilih. Kalau enggak ya jangan, jangan pertaruhkan negeri ini kepada orang yang tidak memiliki perhatian kepada kita semua …”.
Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas jelas tertuju ke AMIN. Menanggapi pernyataan elit PBNU, Jazirul Fawaid Wakil Ketua Umum PKB menyatakan … “nggak, ngak ada, ngak ada itu (pertentangan antara PBNU dan PKB)”. Menanggapi pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Muhaimin Iskandar dan Jazilul Fawaid menyatakan pernyataan Menag sebagai omongan buzzer. Bahkan PKB mengancam akan mendisiplinkan Yaqut Cholil Qoumas sebagai Meneteri Agama yang juga Pengurus PKB. Mengetahui Ketua Umumnya diancam PKB, Syarif Syauqi Ketua GP Ansor Jawa Timur pasang badan membela Yaqut Cholil Qoumas.
NU yang berdiri tahun 1926 awalnya merupakan organisasi keagamaan, pada tahun 1952 telah bertransformasi menjadi partai politik, dan pada tahun 1973 NU berfusi menjadi PPP. NU dalam sejarahnya tidak bisa jauh dari politik, walau secara kelembagaan NU tida berpolitik tetapi anggota NU secara pribadi berpolitik. Sikap ambigu dalam politik inilah yang menyebabkan NU kerap terjebak dalam pusaran politik. NU tidak berpolitik tapi dekat dengan politik, dan NU tidak mengurusi politik tapi berbicara politik.
Sulit membedakan peran NU secara kelembagaan dan peran pribadi anggota NU dalam politik. Kadang kala satu orang … ya pengurus NU … ya pengurus PKB atau sebaliknya ya … pengurus PKB ya … anggota NU. Juga bisa terjadi anggota NU tapi juga menjadi angota organisasi GP Ansor atau Fatayat NU sebagai organisasi underbow NU. Contoh Yaqut Cholil Qoumas sebagai pengurus PKB juga sebagai Ketua Umum GP Ansor dan Khofifah Indar Parawansa sebagai anggota NU juga menjabat sebagai Ketua Umum Fatayat NU. Demikian pula Muhaimin Iskandar dan Jazirul Fawaid sebagai Ketua Umum PKB dan Wakil Ketua PKB, juga menjadi anggota NU.
Memperhatikan konflik PBNU versus PKB dan PKB dilahirkan oleh NU, konfik PBNU dengan PKB merupakan konflik antara Ibu kandung dengan Anak kandung. Pertanyannya kenapa Ibu kandung dan Anak kandung bisa konflik dan perang stattemen … ?. Konflik antara PBNU dan PKB dimungkinkan karena faktor etika, komitmen, dan dendam politik.
AMIN yang merupakan hasil kawin silang antara KIR dengan KIB bertujuan meraup suara Nahdliyin dan berebut dukunyan Kiai dan Nyai khususnya di Jawa Timur. Deklarasi yang mendadak dan tidak ada silaturrahmi dari AMIN ke PBNU baik sebelum maupun setelah deklarasi mengagetkan PBNU. AMIN tanpa kulonuwun (permisi) ke PBNU pada tanggal 2 September 2023 langsung mengadakan deklarasi di Surabaya dan setelah deklarasi langsung mendatangi para ulama NU untuk meminta restu dan dukungan. Langkah AMIN ini dianggap kurang etis dan melanggar tradisi NU yang kental dengan silaturrahmi.
NU sebagai organisasi keagamaan dengan jumlah anggota sebanyak 115 juta orang, sangat seksi untuk diperebutkan dalam setiap Pemilu, namun sesuai dengan apa yang disampaikan K.H. Hasyim Muzadi (Alm) Mantan Ketua Umum PBNU bahwa “… warga NU apes. Ketika NU mendukung partai lain tidak setimpal timbal balik yang diperoleh…”. Berangkat dari pengalaman ini, wajar jika PBNU berharap ada komitmen yang harus dibangun antara AMIN dengan PBNU.
Disamping masalah etika dan komitmen, konflik PBNU versus PKB juga dilatarbelakangi sejarah masa lalu antara Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur dan sejarah antara Muhaimin Iskandar dengan Mahfud MD. Ketika PKB didirikan Gusdur ditetapkan sebagai Ketua Umum, tetapi sejak tahun 2005 Ketua Umum PKB beralih ke Muhaimin Iskandar. Peralihan Ketua Umum PKB dari Gus Dur ke Muhaimin Iskandar terkesan sebagai hasil intrik dari Muhaimin Iskandar.
Kesan Muhaimin Iskandar mengkudeta Gus Dur sampai saat ini masih berlanjut dan meluas menjadi konflik antara Muhaimin Iskandar dengan keluarga dan loyalis Gus Dur (Gusdurian). Konflik Muhaimin Iskandar dengan keluarga Gus Dur diperparah dengan isu penjegalan Muhaimin Iskandar terhadap Mahfud MD saat Mahfud MD akan menjadi Bacawapres Jokowi pada Pilpres 2019. Mahfud MD yang sudah siap di seberang jalan untuk mendampingi Jokowi, tiba-tiba gagal dan digantikan oleh Makruf Amin. Perubahan tiba-tiba Bacawapres Jokowi pada Pilpres 2019 diduga kuat karena disikat ditikungan oleh Muhaimin Iskandar.
Jika tiga faktor ini benar sebagai penyebab konflik PBNU dengan PKB, rasanya konflik ini sulit diselesaikan. PBNU menyatakan Muhaimin Iskandar tidak mewakili NU, tetapi Muhaimin Iskandar menyatakan dia lahir dari keluarga NU. PBNU menyatakan tidak pernah menyodorkan kader untuk menjadi Bacapres ataupun Bacawapres, Muhaimin Iskandar menyatakan mendapat restu dan dorongan dari Kiai NU. Rupanya perang statemen antara PBNU dan PKB akan terus berlanjut sampai dengan penetapan pemenang Pilpres 2024 atau antara PBNU dan PKB menemukan keseimbangan baru.
*) Imam Sanusi, M.Pd. Alumni UKIP/UNM Malang.