AYO MENGKRITIK, JANGAN MENGHUJAT

Moh Yusuf
755 Views
4 Min Read

Oleh :Isdaryanto SH

 

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yg santun dan memiliki standar etis yang tinggi dalam pergaulan. Hal tersebut dapat dilihat dari cara bertegur sapa, menyampaikan sesuatu (dalam perkataan) kepada orang lain dengan cara-cara santun yang meskipun dahulu kala belum termuat dalam peraturan perundang undangan, tetapi sudah melembaga dan dikenal dengan “adat ketimuran”.

Tegur sapa santun tersebut, kemudian tidak menghalangi seseorang untuk menyampaikan pendapat secara lugas, jujur, dan obyektif. Karena sikap dan perilaku santun tersebut adalah mengenai tata cara dan konten yang disampaikan, bukan kemudian mengaburkan substansi dari pemikiran yang di sampaikan.

Selain kewajiban moral yang mengikat untuk berperilaku santun dalam menyampaikan pendapat / ber ekspresi, dalam perkembangannya kemudian perilaku tersebut menjadi suatu kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang undangan. Diantaranya dalam KUHP, UU No. 11 th 2008 yang telah diubah dengan UU No.19 th 2016 tentang ITE, UU No.40 th 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras, UU No.7 th 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Sedangkan UU yang berpotensi bersinggungan namun bertalian erat dengan larangan-larangan dalam berbagai UU diatas diantaranya adalah UU No.40 th 1999 tentang Pers, UU No. 9 th 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Secara lebih teknis, Kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini Kapolri telah mengeluarkan Surat Edara (SE) nomor SE/06/X/2015 yang mengatur mengenai Penangan Ujaran Kebencian (hate speech). Dalam Nomor 2 huruf (f) dinyatakan : ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP, dan ketentuan diluar KUHP, yang berbentuk antara lain :
– Penghinaan
– Pencemaran nama baik
– Penistaan
– Perbuatan tidak menyenangkan
– Memprovokasi
– Menghasut
– Menyebarkan berita bohong
Dan semua tindakan diatas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

Bahwa kemudian dalam huruf (h) dinyatakan bahwa ujaran kebencian dapat dilakukan melalui berbagai media, diantaranya :
– Dalam orasi kegiatan kampanye
– Spanduk atau banner
– Jejaring media sosial
– Penyampaian pendapat dimuka umum
– Ceramah keagamaan
– Media massa cetak atau elektronik
– Pamflet.

Tujuan dari penyampaian perkataan dan pemikiran ada bermacam-macam, diantaranya bisa sekedar mengomentari suatu hal, hanya mengekspresikan perasaan, berkeluh kesah, atau bertujuan memberi masukan / saran atas suatu kondisi dan kebijakan dari penguasa.

Dalam era sekarang, menyampaikan pendapat baik berupa kritikan atau hujatan sudah tidak lagi secara langsung, akan tetapi lebih mudah melalui sarana Teknologi Informasi dan Media Sosial, seperti Facebook, cuitan twitter, postingan broadcast WA, dsb.

Batasan antara hujatan dan kritikan selain bisa diperoleh dari perbedaan pengertian juga bisa diperoleh dari pengaturan hukum yang dibuat untuk melindungi setiap warga negara dari resiko terkena hujatan yang kemudian menjadi viral dan bermuara pada jatuhnya harga diri, nama baik, harkat dan martabat seseorang.

Regulasi mengenai hal-hal yang dikategorikan sebagai hujatan, sebagaimana diuraikan diatas. Yang harus diperhatikan dalam penyampaian pendapat / ekspresi adalah pertama mengenai tata cara, harus sopan dan tidak menyinggung harga diri, kemudian konten / isi, harus obyektif, jujur, tanpa diiringi asumsi yang mengarah pada prasangka negatif. Konten sebisa mungkin selain isinya mengingatkan, juga memberi solusi atas permasalahan.

Untuk itu, mari kita membudayakan kritik, namun jangan menghujat.***

Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *